Sore itu, suasana di warung kopi Bu Benu agak sedikit sepi. Cuaca emang panas, mungkin itu yang jadi salah satu penyebab orang-orang lebih memilih ngadem di rumah. Terlihat Bimo, mahasiswa Sosiologi tingkat akhir, sedang asyik membaca buku sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya. Duduk di pojok yang merupakan tempat duduk favoritnya.
Tak berapa lama, Parjo, toekang becak langganan orang-orang kampung, datang.
Memarkirkan becaknya sebentar kemudian mengayunkan kakinya, melangkah gontai
masuk ke warung kopi.
Bu Benu tetap asyik membolak-balik gorengan
bakwannya sambil sesekali melihat ke arah para pelanggannya yang datang ke
warung kopinya.
Parjo: "(Mengipas-ngipas wajah pakai topinya) Aduh, Jogja ki
makin panas, Yu! Rasane kayak lagi di oven."
Bu Benu: "Lha
iya, Pak. Untungnya warungku iki adem. Tehnya tak tambah es po ora?"
Parjo: "(Tertawa) Ora usah, Yu. Teh panas wae, ngene-ngene nyegeri."
(Bu Benu menyodorkan teh panas, sementara Parjo melirik Bimo yang sedang serius
membaca buku.)
Parjo: "Wah ketok serius tenan. Maca opo, Mo?"
Bimo: "(Menurunkan bukunya) Lagi baca soal perkembangan ruang publik,
Pakde."
Parjo: "Ruang publik? Opo maneh kuwi? Alun-alun,
taman-taman kuwi po maksude?"
Bu Benu: "(Ikut nimbrung) Lha
iya, kenopo emange Pak?"
Parjo: "Lah, Yu? ndak keroso to?
Coba delok alun-alun iku. Dulu lapang, anak-anak bisa dolanan sak karepe.
Kalau sore ada pertandingan bal-balan atau sakdremo latihan. Ada yang joging
atau latihan lari dari klub-klub atletik. Saiki? Isine stand jualan, jalan
jadi area parkiran atau penyewaan sepeda bentuk mobil-mobilan yang berbayar.
Nek malem...wuh suara musik dari mp3 sing dicolokke nang speaker
saut-sautan."
Bimo: "Nah, itu, Pakde. Ruang publik mulai
dikomersilkan. Harusnya buat warga ngumpul, ngobrol, dolanan, olah raga, malah
jadi tempat cari duit."
Bu Benu: "(Menaruh gorengan) Lha
tapi, Mas, kan lumayan buat penghasilan. Pedagang-pedagang cilik yo ikut
kecipratan rejeki."
Bimo: "Betul, Bu Benu. Tapi nek
kebablasan, malah malah ruwet. Kalau enggak diatur sesuai fungsinya ya
lama-lama akan terjadi pengaplingan-pengaplingan, seolah-olah jadi milik
pribadi atau oknum tertentu."
Bu Benu: "Wah, iya ya. Dulu
lapangan cilik deket kene buat bocah-bocah main bola. Saiki wis dadi bangunan
ruko."
Bimo: "Itu contoh konkret, Bu. Ruang terbuka hijau
dialihfungsikan. Padahal, tempat seperti itu penting buat warga kota
refreshing tanpa harus bayar."
Parjo: "Tapi ya kepiye maneh,
Mo? Semua itu kan terserah yang empunya lahan."
Parjo: "Nah,
sing model alun-alun kuwe mbok yo ndak kayak pasar malam terus-terusan. Opo
ora digilir, misale dagangan minggon wae?"
Bimo: "Iya, Pak.
Terus, warga juga kudu aktif protes. Nek ndak sesuai, ya disuarakan. Kalau
terus-terusan terjadi pembiaran, suatu saat akan sulit ditertibkan."
Bu Benu: "Wah, iya, Mas. Aku yo baru mikir. Sehari-hari ngrasakke, tapi yo ndak
pernah ngomong. Lha tapi opo pemerintah gelem ngrungokke? Nanti kalau gantian
diprotes misale ditakoni 'emange sampeyan rugi opo, toh panggonan iki yo dudu
duweke sampeyan?'...ngono kuwi....kan yo bingung Mas Bim."
Parjo: "Wah, yo intine, ruang publik ki kudune tetep buat masyarakat, buat umum,
dudu mung kanggo bisnis wae."
Bimo: "Tepat, Pakde. Ruang
publik kudu tetep jadi tempat interaksi sosial, dudu etalase dagangan tok."
Bu Benu: "Nah, aku setuju. Semoga pemerintah ngerti. Kopine tak tambahi, Mas Bimo?
Pak Parjo, bakwane mumpung isih panas ki."
(Obrolan terus berlanjut di warung kopi Bu Benu, membahas harapan agar ruang publik tetap mengakomodasi
kepentingan bersama.)
*Klik produk untuk melihat detailnya:
Posting Komentar
Silakan Meninggalkan Komentar