Sore datang pelan-pelan, seperti biasa. Langit mulai menyala keemasan, dan di antara ranting pohon ketapang di sudut halaman, terdengar suara lembut yang mengalun, hur-kete-kuk… hur-kete-kuk…
"Perkutut ya?" tanya Nara sambil duduk bersila di tikar rotan, memandangi pohon tua yang
menggoyang ringan.
"Iya," sahut Sari. "Aku suka banget suara
mereka. Rasanya... damai, gitu."
Rara, yang baru datang membawa
teh panas, tersenyum, "Mau dengar ceritanya?"
Dan seperti sore-sore lain, kisah pun mengalir dari balik gelas teh yang mengepul.
Kukila dari Timur
Burung perkutut—terutama perkutut jawa (Geopelia striata)—adalah tamu senja yang dikenal akrab di banyak pekarangan rumah. Mereka termasuk keluarga Columbidae, saudara jauh dari merpati dan tekukur. Genusnya bernama Geopelia, gabungan dari kata Yunani geo (tanah) dan peleia (merpati). Meski namanya mengacu pada tanah, perkutut justru gemar berkicau dari atas—dari ranting-ranting yang sejuk dan tinggi.
Asalnya dari Asia Tenggara dan Australasia. Di Indonesia, perkutut jawa adalah yang paling banyak ditemui. Tapi selain itu, ada juga perkutut intan, perkutut papua, perkutut loreng, dan perkutut australia. Semuanya punya keunikan masing-masing, tapi G. striata tetap jadi ikon lokal.
Tubuh Kecil, Aura Tenang
Dengan tubuh ramping sekitar 21 cm, perkutut memang bukan burung yang mencolok. Tapi lihat lebih dekat, dan kamu akan jatuh hati: kepala abu-abu lembut, garis-garis halus di leher, dan bulu punggung cokelat dengan detail hitam di tepinya. Ekor panjangnya anggun, dan iris matanya yang kebiruan tampak seperti danau kecil yang tenang.
Hidupnya Sederhana, Tapi Penuh Filosofi
Perkutut menyukai tempat terbuka: ladang, semak belukar, sampai kebun belakang rumah. Mereka sering terlihat berpasangan atau dalam kelompok kecil, berjalan pelan di tanah mencari biji-bijian. Tapi saat ingin bernyanyi, mereka akan naik—ke dahan pohon, atau kabel listrik—dan dari sanalah suara mereka bergema lembut ke seantero sore.
Kicauan hur-kete-kuk yang khas, rendah dan ritmis, sering dianggap menenangkan. Banyak orang percaya, setiap perkutut punya suara uniknya sendiri—seperti sidik jari. Mungkin itu sebabnya, suara mereka begitu personal dan menyentuh hati.
Lebih dari Sekadar Burung
Di Jawa, perkutut bukan hanya peliharaan. Mereka disebut kukila, dan dipercaya membawa ketenteraman, keberuntungan, dan kebijaksanaan. Dulu, hanya kalangan ningrat yang memeliharanya. Bahkan dalam filosofi Jawa, perkutut kerap dilihat sebagai simbol harmoni batin dan keseimbangan hidup.
Menjaga Mereka Tetap Ada
Meskipun belum tergolong langka, perkutut tetap butuh perhatian. Perubahan habitat dan perburuan liar bisa mengancam keberadaan mereka. Syukurlah, di Yogyakarta dan beberapa daerah lain, ada gerakan pelepasliaran burung, termasuk perkutut. Langkah kecil tapi berarti untuk menjaga harmoni alam tetap hidup.
---
Sore semakin larut. Matahari mengintip terakhir kalinya sebelum turun sepenuhnya di balik bukit.
"Kayaknya,"
bisik Sari, "perkutut itu bukan cuma burung, ya. Dia bagian dari senja."
Nara
mengangguk pelan. Rara hanya tersenyum sambil menatap ranting, di mana seekor
perkutut hinggap dalam diam.
---
Kalau suatu hari kamu duduk sendiri di halaman, dan mendengar kicauan lembut dari arah pohon, mungkin itu bukan sekadar suara burung. Mungkin itu adalah sapaan alam, lewat perkutut, lewat ranting-ranting senja.
🎥 Kamu bisa tonton kehidupan Perkutut di alam liar. Film dokumenter yang diunggah oleh Wwn Budiyanto Channel semacam ini, bisa dijadikan media untuk refreshing pikiran. Dengarkan melalui headset sangat disarankan. Sebagai selingan jika kamu dah capek scroll-scroll video pendek di medsos yang terkadang bikin sumpek pikiran.
*Klik gambar produk untuk melihat detailnya:
Posting Komentar
Silakan Meninggalkan Komentar