Mengurai Makna 'Wong Jawa Ilang Jawane': Perspektif Budaya dan Kehilangan Identitas

Tersebutlah dalam kitab 'Ramalan Jayabaya' yang terkenal: Sungai akan kehilangan alirannya (Kali ilang kedhunge), pasar akan kehilangan keramaiannya (pasar ilang kumandhange), laki-laki akan kehilangan keberanian atau sifat kesatriyanya (wong lanang ilang kaprawirane), perempuan akan kehilangan rasa malunya (wong wadon ilang wirange), dan orang Jawa akan kehilangan sifat kejawaannya (wong Jawa ilang jawane). Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa orang Jawa sudah kehilangan kejawaannya itu sejak 390 tahun lalu, yaitu saat Sultan Agung mengeluarkan dekrit untuk mengganti penanggalan Jawa dari penanggalan Syamsiah (tahun Saka) menjadi penanggalan Kamariah (tahun Jawa) sejak tanggal 8 Juli 1633 Masehi atau tanggal 17 Kasa 1555 Saka. Sejak saat itu, orang Jawa diharuskan meninggalkan penanggalan asli Jawa, yaitu tahun Saka, dan mengadopsi penanggalan Hijriyah. Tanggal 1 Sura dianggap sama dengan tanggal 1 Muharram, tetapi angka tahunnya meneruskan angka tahun Saka.
Tahun Saka adalah kalender tradisional yang pernah digunakan di Indonesia (nusantara) dan India, sedangkan Tahun Hijriah adalah kalender Islam. Perbedaan antara Tahun Saka dan Tahun Hijriah adalah 78 tahun.

Pada tahun 1926, sudah dimulai percobaan dalam penulisan aksara Jawa, yang disebut sebagai wewaton Sri Wedari, yang mencakup aksara rekaan dan taling-tarung palsu dalam huruf jawa. Percobaan ini dapat dilakukan tanpa kendala oleh masyarakat Jawa. Dua tahun setelah itu, pada tanggal 28 Oktober 1928, dengan peristiwa Sumpah Pemuda, diputuskan untuk menghormati bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Ketika ada dua pilihan untuk bahasa persatuan, yaitu Bahasa Jawa karena memiliki banyak pengguna dan bahasa Melayu yang telah berkembang digunakan untuk komunikasi di Nusantara. Dengan memilih bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, rasanya sangat pas. Tidak ada yang merasa kalah, semua merasa menang. Kita merayakan bahwa pilihan ini sangat tepat! Negara kita memiliki bahasa persatuan yang diterima dengan suara bulat, tanpa ada protes. Jika kita membandingkannya dengan negara seperti India yang masih memiliki masalah dengan bahasa nasionalnya, kita telah berhasil dengan mantap.

Orang Jawa yang memiliki toleransi tinggi, bersedia mengalah. Bahasa Jawa bukan bahasa nasional, tapi bukan masalah. Namun, pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak sejarah ketika orang Jawa kehilangan identitas bahasa mereka. Hanya dalam waktu sekitar 95 tahun, Bahasa Jawa menjadi berantakan dan hampir punah. Untuk generasi penerus, Bahasa Jawa bukan lagi bahasa ibu. Banyak anak-anak tidak bisa lagi berbicara dengan baik dalam bahasa krama. Di kota-kota seperti Yogyakarta dan Surakarta, banyak anak yang dibesarkan oleh orang tua yang berbicara dalam Bahasa Jawa akhirnya memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia, karena tidak bisa berbicara dalam bahasa krama. Hasilnya sudah jelas, tulisan Jawa semakin tidak dikenal, menuju fase kepunahan. Orang Jawa telah kehilangan identitas bahasa ibu mereka sepenuhnya.

Masih ada hal yang tidak boleh dilupakan yaitu tentang budi pekerti. Ada pepatah, bahasa mencerminkan karakter bangsa. Jika seseorang belajar Bahasa Jawa, maka seharusnya nilai-nilai budi pekerti Jawa juga harus dipelajari, karena dalam pembelajaran Bahasa Jawa juga mencakup etika dan tata krama. Dengan demikian, seseorang yang masih menggunakan Bahasa Jawa, sebagian besar akan memahami nilai-nilai budi pekerti yang baik dan tetap menghormati mereka.

Enjoyed this post? Never miss out on future posts by :

Next Post Previous Post
No Comment
Add a comment
comment url